Persoalan “cawe-cawe” Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai saat ini masih menjadi topik yang menarik untuk diperdebatkan. Namun, mungkinkah ada argumen yang bisa menjustifikasi manuver politik tersebut?
“The bigger they are, the harder they fall,” – Robert Fitzsimmons, Petinju AS
Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) sudah di depan mata. Segala macam dinamika politik yang terjadi di antara para elite politik di Indonesia, apa-pun dan kepada siapa-pun itu, pasti memiliki potensi untuk menjadi headline pemberitaan.
Dan kalau kita mau memilih peristiwa politik apa yang paling menarik di antara yang sudah terjadi dalam beberapa waktu terakhir, mungkin dugaan tentang upaya “cawe-cawe” Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah salah satu yang paling seksi untuk jadi bahan obrolan sehari-hari. Bagaimana tidak? Pada tanggal 29 Mei lalu saja Jokowi sendiri mengaku bahwa ia memang ingin melibatkan diri persoalan Pilpres 2024.
Walaupun memang Jokowi mengatakan bahwa alasan dirinya melakukan itu adalah karena demi menjamin keberlanjutan pembangunan di Indonesia.
Kendati demikian, tidak dipungkiri bahwa sebagian lapisan masyarakat Indonesia masih memiliki pandangan yang cukup sinis terhadap sikap politik Jokowi tersebut. Salah satunya adalah Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi (10/9), yang mengatakan bahwa pernyataan Jokowi yang menyebut cawe-cawe-nya adalah demi Indonesia, tetap perlu diwaspadai secara ketat.
Namun, apakah benar persoalan cawe-cawe Jokowi adalah sesuatu yang begitu negatif, seperti yang mungkin dikira oleh banyak orang selama ini? Bagaimana jika ternyata ada justifikasi yang masuk akal dari perspektif Jokowi untuk merasa bahwa dirinya perlu cawe-cawe di urusan Pilpres 2024?
Jokowi Ingin Kutukan Eks-Presiden Berakhir?
Ada satu pepatah menarik dari film The Dark Night (2008) yang sangat sering dijadikan referensi dalam postingan-postingan di media sosial ketika berbicara tentang nilai-nilai bijak dalam hidup: “you either die a hero, or you live long enough to see yourself become the villain.”
Seseorang yang awalnya dilihat sebagai pahlawan atau figur baik, seiring waktu dapat berubah menjadi sosok yang dianggap buruk atau negatif.
Menariknya, kalau kita coba renungkan, kalimat tersebut sesungguhnya sangat merefleksikan realita politik para mantan presiden Indonesia.
Pertama, kita coba lihat Soekarno. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa akhir masa hidup proklamator Indonesia tersebut dipenuhi dengan rasa sakit yang luar biasa, mulai dari persoalan dokter hewan yang mengurusnya ketika sakit, sampai pengasingan dari keluarganya sendiri. Padahal, Soekarno adalah orang yang sangat berjasa dalam masa-masa awal berdirinya Indonesia.
Kedua, Soeharto. Walaupun kepemimpinan presiden kedua Indonesia itu memang memiliki catatannya tersendiri, akhir kisah kehidupan Soeharto penuh dengan kepahitan yang besar. Utamanya, sampai sekarang, nama Soeharto masih sangat lekat dengan kesan yang negatif. Bersamaan dengan Soekarno, Soeharto pun hingga kini masih banyak yang menentang dirinya dianggap sebagai pahlawan nasional.
Ketiga, B.J. Habibie. PT IPTN yang pernah dibesarkan Habibie kini hanya menjadi kerangka dari masa kejayaan teknokrasi di Indonesia. Selain itu, walaupun aksi politik atau aksi hukum terhadap Habibie tidak besar, tidak seperti Soekarno dan Soeharto spesifiknya, Habibie pernah mendapat sentimen negatif yang cukup besar dari orang-orang yang tidak setuju Indonesia melepas wilayah Timor Timur.
Keempat, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kebencian politik terhadapnya oleh beberapa kelompok tampak cukup kentara ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku lembaga tertinggi negara saat itu, melengserkan sang Presiden ke-4 Indonesia. Simpang siurnya kabar tentang siapa yang benar-benar mendesain pelengseran Gus Dur hingga saat ini hanya membuktikan bahwa pejabat setara presiden pun masih bisa mendapat serangan politik. Tidak hanya itu, PKB, partai yang dibesarkan Gus Dur pun diambil alih secara politik pada masa akhir hidupnya.
Kelima, Megawati Soekarnoputri. Meskipun Megawati tidak mendapat serangan politik sekeras pendahulu-pendahulunya, sepertinya aman untuk kita asumsikan bahwa dirinya sampai sekarang tetap berada di bawah bayang-bayang serangan politik. Pernyataan dari ekonom senior Kwik Kian Gie soal Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 Tahun 2002 yang diteken Megawati, terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, mungkin bisa jadi contohnya.
Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin nasib SBY sebetulnya tidak jauh berbeda dengan Megawati, karena Presiden ke-6 Indonesia tersebut pun dibayang-bayangi sejumlah potensi kasus yang bisa dijadikan senjata untuk menyerangnya. Tudingan kasus Century dan juga polemik proyek Hambalang menjadi beberapa contohnya.
Mungkin bagi orang biasa seperti kita cerita-cerita di atas hanya jadi catatan sejarah saja, tetapi, untuk seorang presiden, kisah kelam yang menimpa semua presiden Indonesia sebetulnya jadi peringatan. Pertanyaannya adalah, apa yang akan dilakukan Jokowi bila ia ingin menghindari nasib yang serupa? Well, cawe-cawe politik sepertinya jadi salah satu jawaban.
Apalagi, Niccolo Machiavelli dalam buku-bukunya pernah menjelaskan bahwa keadaan yang dialami seorang penguasa akan membentuk pola psikologi yang unik. Pertama, seorang pemimpin secara naluriah akan merasa harus terus menjaga kestabilan dan keamanan politik, kedua, karena hal itu, pemimpin tersebut sebagai akibatnya juga akan mungkin memiliki obsesi atas pengendalian.
Buah dari pemikiran tersebut kemudian bisa kita asumsikan sebagai dorongan bagi seorang pemimpin untuk memiliki penerus yang tidak akan menyerang balik apa yang dibangunnya selama dia memimpin.
Namun, bila benar Jokowi sedang merasakan demikian, tentu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ia bisa menjamin keamanan politik tersebut?
Jokowi Butuh Penerus Ahli Hukum?
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Bulan Bintang (PBB), Afriansyah Noor dalam wawancaranya dengan PinterPolitik (15/9), mengafirmasi persoalan hukum di Indonesia yang tidak jarang bersifat “carut-marut”. Beberapa undang-undang dari rezim ke rezim memang terkadang menciptakan polemik hukum yang sulit diselesaikan.
Menariknya, atas dasar itu, Afriansyah yang akrab dipanggil Febry tersebut mengandai-andai-kan sebuah skenario ideal di masa depan di mana ada seorang wakil presiden yang sangat paham dengan persoalan hukum, mampu melanjutkan pembangunan yang selama ini dibangun oleh Presiden Jokowi.
Di sisi lain, hal itu juga bisa menjadi penjamin agar tidak ada pihak-pihak yang mencoba mencari-cari celah untuk membuat perkara hukum kepada Jokowi, hanya karena dasar perbedaan pandangan politik, seperti yang pernah terjadi pada presiden-presiden Indonesia sebelumnya.
Dan jujur saja, mungkin pandangan yang seperti ini tidak mudah untuk diterima oleh semua kalangan. Akan tetapi, kalau kita melihatnya secara keseluruhan, ada baiknya transisi kekuasaan di Indonesia bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih baik.
Selama puluhan tahun tidak ada mantan presiden di Indonesia yang hidupnya benar-benar tenang setelah mereka lengser. Di satu sisi, keadaan yang seperti itu sebetulnya membuat mereka yang pernah terlibat politik tidak bisa meninggalkan politik secara keseluruhan, karena ancaman akan adanya serangan politik akan selalu ada, akibatnya, mereka perlu tetap “stay in the game to survive”.
Oleh karena itu, di penghujung kepemimpinan Jokowi ini, di antara ribuan argumen yang berkontra dengan narasi “cawe-cawe” Jokowi, mungkin dengan pemaparan yang disampaikan dalam artikel ini kita bisa memahami bahwa di masa mendatang Indonesia benar-benar membutuhkan pemimpin yang juga bisa menyelesaikan kemelut politik-hukum yang selama puluhan tahun ini menyakiti banyak orang.
Intinya, jangan sampai hukum di Indonesia hanya terus menjadi alat politik yang bisa digunakan tanpa bertanggung jawab. (D74)